CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 02 November 2016

Negara Paripurna

Negara Paripurna

Pendahuluan
Sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan kekayaan sumber daya yang berlimpah, Indonesia menjadi titik – temu penjelajahan bahari yang membawa berbagai arus peradaban dunia. Nusantara pun sebagai pusat persemaian dan penyerbukan silang budaya. Masuk dalam persoalan politik, Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda merumuskan, tujuan kemerdekaan politik harus didasarkan persatuan nasional, solidaritas, non – kooperasi, dan kemandirian (1924). Adapun idealisasi “Jika kita, kaum Muslim benar – benar memahami dan secara sungguh – sungguh melaksanakan ajaran – ajaran Islam, kita pastilah akan menjadi para demokrat dan sosialis sejati” (Tjokroaminoto 1924). Para aktivis luar negeri maupun Hindia, serta Soekarno juga menganut ideal yang sama. Monumen dari usaha intelektual untuk mencari sintesis dari keragaman anasir keindonesiaan itu adalah “Sumpah Pemuda”, dengan visinya yang mempertautkan segala keragaman ke dalam kesatuan tanah air bangsa dan menjunjung bahasa persatuan.

Dalam rancangan awal Jepang, kemerdekaan akan diberikan melalui dua tahap; pertama BPUPKI yang bertugas sebagai penyelidik kemerdekaan, kemudian disusul PPKI yang tugasnya menyusun rancangan dan penetapan UUD. Namun skenario ini berubah karena keberanian dan kreativitas para pemimpin yang menerobos batas formalitas. Terdapat lima prinsip meja statis menurut pandangan Bung Karno, yang menjadi titik persetujuan segenap persatuan elemen bangsa dan memiliki tuntunan dinamis ke arah gerakan rakyat, bangsa, dan negara, yaitu: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme atau Perikemanusiaan; Mufakat atau Demokrasi; Kesejahteraan Sosial; dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Kelima prinsip itu disebut Soekarno dengan Panca Sila dan sebagai urutan sequential. Masing – masing sila Pancasila merupakan satu kesatuan integral, yang saling mengandaikan dan saling mengunci. Kemudian prinsip “Ketuhanan” dipindah dari sila terakhir ke sila pertama, ditambah dengan “Dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk – pemeluknya” (Kemudian dikenal dengan istilah “tujuh kata”). Selain itu, prinsip “Internasionalisme atau peri – kemanusiaan” tetap diletakkan pada sila kedua, namun redaksinya mengalami penyempurnaan menjadi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Prinsip “Kebangsaan Indonesia” berubah posisinya dari sila pertama menjadi sila ketiga. Bunyinya menjadi “Persatuan Indonesia”. Prinsip “Mufakat atau Demokrasi” berubah posisinya dari sila ketiga menjadi sila keempat. Bunyinya menjadi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Prinsip “Kesejahteraan Sosial” berubah posisinya dari sila keempat menjadi sila kelima. Bunyinya menjadi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Menurut Mohammad Hatta, dengan perubahan posisi prinsip Ketuhanan dari posisi pengunci ke posisi pembuka, ideologi negara tidak berubah karenanya, melainkan negara memperkokoh fundamennya, negara dan politik negara mendapat dasar moral yang kuat. Hasil rumusan Piagam Jakarta mendapat respon dari Latuharhary. Dalam tanggapannya pada 11 Juli, menyatakan keberatan atas pencantuman “tujuh kata” itu. Dengan demikian, hasil rumusan Piagam Jakarta itu bertahan hingga akhir masa persiapan sidang kedua (17 Juli 1945). Berlandaskan Piagam Jakarta, Panitia Kecil terlebih dahulu merumuskan lima pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD. Pokok – pokok pikiran ini mewujudkan cita – cita hukum yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis, maupun tidak tertulis.
Bagi anggota – anggota dari golongan kebangsaan, pencantuman “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta yang mengandung perlakuan khusus bagi umat Islam dirasa tidak cocok dalam suatu hukum dasar yang menyangkut warga negara secara keseluruhan. Pada 18 Agustus 1945, PPKI memilih Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Saat itu PPKI menyetujui naskah Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945, kecuali “tujuh kata” di belakang sila Ketuhanan, yang kemudian dicoret dan diganti dengan kata “Yang Maha Esa”. Sehingga menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini, dalam batang tubuh UUD 1945 disetujui pula Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 29 ayat 1.
Meskipun pencoretan “tujuh kata” menimbulkan kekecewaan di sebagian golongan Islam, karena dianggap melanggar kompromi sebelumnya, secara de facto dan de yure pencoretan itu mencerminkan realitas politik yang ada dan memiliki keabsahan. Dalam proses konseptualisasi Pancasila itu, dikatakan 1 Juni merupakan hari kelahiran Pancasila. Dan akhirnya mengalami perumusan final melalui proses pengesahan konstitusional pada 18 Agustus. Sejak disahkan secara konstitusional, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan ligatur (pemersatu) dalam peri kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan – kenegaraan, Pancasila memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat. Setiap sila memiliki justifikasi historisitas, rasionalitas, dan aktualitasnya. Yang jika dipahami, dihayati, dipercaya, dan diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapaian – pencapaian agung peradaban bangsa. Pokok – pokok moralitas dan haluan kebangsaan – kenegaraan menurut alam Pancasila dapat dilukiskan sebagai berikut.
Pertama, nilai – nilai ketuhanan sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat vertikal –transendental) dianggap penting sebagai fundamental kehidupan bernegara. Kedua, nilai – nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat – sifat sosial manusia dianggap penting sebagai fundamen etika – politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Landasan etik ini adalah “adil” dan “beradab”. Ketiga, aktualisasi nilai – nilai etis kemanusiaan itu terlebih dahulu mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia lebih jauh. Keempat, nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan cita – cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Kelima, nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan cita – cita kebangsaan, serta demokrasi permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan, artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan sosial. Suatu dasar falsafah yang berlandasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat, jika dipahami secara mendalam, diyakini secara teguh, dan diamalkan dengan konsisten, dapat mendekati perwujudan “Negara Paripurna”.
Demi membuat Pancasila tegar, efektif, dan menjadi petunjuk bagaimana negara ini ditata – kelola dengan benar, perlu adanya proses “radikalisasi Pancasila”. Yaitu dengan: (1) mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara, (2) mengembangkan Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu, (3) mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk – produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial, (4) Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, dan (5) menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara. Proses radikalisasi dimaksudkan untuk membuat Pancasila menjadi lebih operasional dalam kehidupan dan ketatanegaraan, dan sanggup memenuhi kebutuhan praktis atau pragmatis dan bersifat fungsional.
Ketuhanan Yang Berkebudayaan
          Secara historis, hidup religius dengan kerelaan menerima keragaman telah lama diterima sebagai kewajaran oleh penduduk Nusantara. Nusantara telah mengembangkan kepercayaan yang disebut bercorak animisme dan dinamisme. Sistem penyembahan dari kepercayaan berkembang seiring perkembangan cara hidup manusia. Dengan kemunculan intelegensi sebagai elite baru pada awal abad – 20, yang disusul pergeseran gerakan mileniarisme menuju gerakan ideologis, peran politik agama tidak surut. Golongan Islam berpandangan bahwa “negara” tidak bisa dipisahkan dari “agama”. Sedangkan golongan kebangsaan berpandangan bahwa negara hendaknya “netral” terhadap agama. Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti bahwa negara bersifat “a religius”. Negara nasional yang bersatu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang teguh cita – cita moral rakyat yang luhur. Maka hendaknya Negara Indonesia memakai dasar moral yang luhur, yang juga dianjurkan agama Islam.
Di satu ujung, ada pandangan yang menghendaki Islam sebagai dasar negara. Namun di ujung lain, ada banyak pandangan yang menolak gagasan Negara Islam. Dalam perbenturan antar dua paham tersebut, sulit melihat hubungan negara dan agama di luar pola “penyatuan” (fusion) dan “pemisahan” (separation). Kita tidak mendirikan negara dengan dasar perpisahan “agama” dan “negara”, melainkan mendirikan negara modern diatas dasar perpisahan antara urusan agama dengan negara. Semua orang hendaknya per – Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme – agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia menjadi satu Negara yang bertuhan. Setiap golongan terjadi friksi internalnya masing – masing, menyangkut dasar negara terjadi konsolidasi internal yang menciptakan pengkubuan. Bagi golongan kebangsaan, Piagam Jakarta yang memuat “tujuh kata” hanyalah salah satu dokumen sejarah yang dihasilkan perjalanan sejarah rakyat Indonesia menuju kemerdekaan, oleh karena itu tidak bisa dan tidak boleh menjadi sumber hukum. Sebaliknya, bagi golongan Islam, hal itu bukan hanya memengaruhi Pembukaan UUD, melainkan seluruh batang tubuh UUD, sehingga tetap terus memiliki makna hukum dan bisa dipergunakan sebagai sumber hukum untuk menerapkan aturan – aturan Islam bagi umat Islam. Secara semena – mena, kubu – kubu yang muncul dinamakan “Pendukung Pancasila” vs “Pendukung Islam”.
Semua memiliki banyak kesamaan pandangan dan mencapai persetujuan dalam hal – hal substantif. Selain itu setiap kubu juga bisa menerima setiap sila Pancasila kecuali menyangkut “tujuh kata” dibalik sila Ketuhanan yang kembali dipersoalkan oleh kubu Islam. Nampaknya sebagian besar masalah ditimbulkan oleh kekaburan dalam melihat hubungan agama, Pancasila, dan negara. Jika dengan sila ke – Tuhanan Yang Maha Esa memang benar – benar tidak terkandung maksud  paksaan – paksaan terhadap agama dan keyakinan lain, dalam Sidang Pleno menyatakan bersedia menerima Pancasila tanpa perubahan atau perbaikan. Berdasarkan hal ini, Negara Indonesia berdasar Pancasila sila Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah negara yang terpisah dari agama, tetapi juga bukan negara yang menyatu dengan agama. Tidak terpisah, karena negara secara aktif  dan dinamis membimbing, menyokong, memelihara, dan mengembangkan agama. Tidak pula menyatu dengan agama, karena negara tidak didikte atau mewakili agama tertentu, bahkan tidak memberi keistimewaan pada salah satu agama. Secara lazim, “Indonesia bukan ‘negara sekuler’ dan juga bukan ‘negara agama’ “. Untuk mengatasi dampak buruk keterlibatan agama dan negara diperlukan konteks relasi baru, yaitu “diferensiasi”. Tersedianya kerangka diferensiasi inilah yang memberi peluang bagi pengembangan “toleransi kembar” antara agama dan negara. Negara dan agama bisa mengembangkan peran publiknya masing – masing. Tanpa saling memaksa, karena menemukan konteks keterlibatannya yang tepat.
Ketuhanan dalam kerangka Pancasila merupakan usaha pencarian titik temu dalam semangat gotong – oyong untuk menyediakan landasan moral yang kuat bagi kehidupan politik berdasarkan moralitas Ketuhanan. Sila Ketuhanan mengajak bangsa Indonesia untuk mengembangkan etika sosial dalam kehidupan publik – publik dengan memupuk rasa kemanusiaan dan persatuan, mengembangkan hikmah permusyawaratan dan keadilan sosial.
Kemanusiaan Universal
          Melalui proses persilangan budaya dan perdagangan, terjadilah arus masuk nilai – nilai budaya dan agama semasa ke Nusantara. Di bawah politik etis, educate (pendidikan), irrigatie (irigasi), dan emigratie (transmigrasi) menjadi prioritas dan program kesejahteraan. Dan pendidikan dianggap sebagai hal yang paling esensial. Semua memiliki konsekuensi penguasaan modal kultural baru dan meningkatkan ekspektasi kaum intelegensi yang mendorong gerakan kemadjoean. Gerakan inilah yang membuka jalan bagi kebangkitan nasional.
            Proses negosiasi dan persilangan budaya antar peradaban itu mengarah pada penguatan komitmen bersama pada pembebasan ketika dihadapkan pada situasi kesengsaraan ekonomi dan penindasan politik yang makin mencekam pada pasca – Perang Dunia I. Situasi penderitaan memunculkan semangat emansipasi yang digali dari berbagai unsur peradaban dan pengalaman. Dengan kesadaran akan pertautan rasa kemanusiaan antar – bangsa, sosok nasionalisme yang hendak dikembangkan bangsa Indonesia adalah nasionalisme luas, yang berdimensi internasionalisme. Dalam perkembangannya, peralihan kekuasaan penjajah lama ke penjajah baru bak peribahasa “Lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau          Yang dimaksud prinsip filosofis “internasionalisme” atau “perikemanusiaan” bukanlah “kosmopolitanisme” yang tidak mau adanya kebangsaan. Dalam pandangan, “nasionalisme” dan “internasionalisme” saling mengandaikan, “internasionalisme tidak dapat hidup jika tidak berakar dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur jika tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme”.
            Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 komitmen bangsa Indonesia pada kemanusiaan universal dengan menekankan kemutlakan hak merdeka bagi segala bangsa dan warganya tanpa terkecuali. Alinea kedua menekankan perjuangan nasional meraih kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri serta idealisme kemanusiaan di alam kemerdekaan. Alinea ketiga mengembalikan derajat manusia pada fitrah kesetaraannya dalam berkat penciptaan Tuhan, yang menghendaki suasana kehidupan kebangsaan yang bebas, dengan itu Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya. Alinea keempat mengandung dua hal. Pertama, membawa isu – isu kemanusiaan pada tujuan negara dalam rangka pemenuhan kebahasaan dan hak kolektif maupun perorangan, dalam kehidupan nasional maupun internasional. Kedua, menjangkarkan isu – isu kemanusiaan pada dasar negara, khususnya dasar kedua, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Dalam Pembukaan ini tampak jelas bahwa para pendiri bangsa memiliki argumen yang kuat.
            Kebanyakan hak dasar yang terkandung dalam UUD 1945 ialah hak dasar warga negara. Kandungan HAM yang bersifat universal, yang berlaku bagi nun – warga negara hanya terkandung pada pasal 28 dan 29. Ini mengindikasikan bahwa pengakuan HAM diletakkan dalam suasana kekeluargaan. Dalam kewajibannya memfasilitasi dan memenuhi hak – hak dasar warga, negara juga diberi haknya sendiri, yaitu hak mengelola hal – hal yang menyangkut persemakmuran bersama.
            Dengan UUD 1945 secara substantif tidak mengurangi komitmen bangsa Indonesia pada persoalan kemanusiaan universal dan penghormatan hak – hak asasi manusia. Bukan karena UUD telah mengandung tiga generasi HAM, tetapi juga tersedianya rujukan sumber hukum tidak tertulis, berupa fakta historis terjadinya kemajuan yang terus – menerus dalam pengakuan konstitusional terhadap HAM.
            Dalam rekam jejak perjalanan bangsa ini tampak jelas, bahwa sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab memiliki akar yang kuat dalam historisasi kebangsaan Indonesia. Kemerdekaan Indonesia menghadirkan suatu bangsa yang memiliki wawasan global dengan kearifan lokal, memiliki komitmen pada ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan serta pada pemuliaan hak – hak asasi manusia dalam suasana kekeluargaan kebangsaan Indonesia.
            Sebagaimana negara – negara yang baru merdeka lainnya, ketika dekolonisasi berakhir, Indonesia memerlukan waktu untuk mengembangkan kultur politik demokratis. Setelah sekian lama berada di bawah dominasi asing yang tidak dijalankan dengan prinsip akuntabilitas yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat koloni, Indonesia mengalami kesulitan untuk mengembangkan pemerintahan yang memadai dan responsif.
            Di tengah tekanan globalisasi yang semakin luas cakupannya, dalam penetrasinya dan instan kecepatannya, sifat masyarakat Indonesia yang cenderung lentur dalam menerima pengaruh global bisa bersifat positif dan negatif. Akhirnya, ada perkembangan yang paradoks. Di satu sisi, globalisasi mengurangi otoritas negara – bangsa. Di sisi lain, negara yang mampu mengambil keuntungan dari globalisasi justru negara yang kuat. Dengan demikian harus ada keseimbangan antara komitmen internasionalisme dan nasionalisme, pemberdayaan International governance dan pemberdayaan negara – bangsa.
Persatuan Dalam Kebhinekaan
          Berada di kawasan tropik dengan kekayaan sumber yang tersedia, iklim yang moderat, dan tempat perlintasan manusia purba, Dataran Sunda sangat mungkin merupakan tempat persemaian awal peradaban manusia. Manusia yang bergerak dari Dataran Sunda menuju Dataran Sahul diperkirakan jenis Homo Sapiens. Manusia purba itulah Yang kemudian menjadi nenek moyang penduduk Papua dan Kepulauan Melanesia serta suku Aborigin di Australia, yang dikenal Austro – Melanesoid. Sementara dalam pergerakan ke arah barat, manusia purba dari Dataran Sunda menyebar ke daerah Sumatera, Semenanjung Melayu, lalu ke utara, yakni Muangthai Selatan sampai Vietnam Utara.
            Sejak zaman batu hingga kebudayaan perunggu, masyarakat prasejarah Nusantara telah mengembangkan corak kebudayaan yang terbanyak di wilayah Asia. Pengaruh indianisasi merefleksikan ikhtiar masyarakat Nusantara untuk memperoleh model politik guna menghadapi situasi baru. Arus masuk indianisasi ini oleh hubungan perdagangan Nusantara dan India yang difasilitasi oleh jalur pelayaran melalui Samudera India.
            Dalam arus masuk kekuatan bangsa – bangsa Eropa di Nusantara tidak terhindarkan membawa pengaruh peradaban dan keagamaan bangsa – bangsa tersebut, khususnya kekristenan (Katolik dan Protestan), di Tanah Air. Tampak jelas cetakan dasar Nusantara sebagai produk penyerbukan silang budaya yang menghadirkan arsiran – arsiran persamaan dalam perbedaan. Manusia Nusantara berinduk ganda, yakni ras Astro – Melanesoid berkulit hitam dan ras Astro – Mongoloid berkulit putih. Kemungkinan perkawinan silang kedua ras melahirkan manusia berkulit sawo matang yang lazim disebut ras Melayu. Alam Nusantara juga beraneka ragam, dari dataran pantai hingga pegunungan, yang merupakan rangkaian dari gugus kepulauan yang pernah menjadi bagian integral benua Asia dan Australia.
            Meski menunjukkan keragaman dan perubahan, dampak kehadiran aneka budaya dan peradaban besar dalam jangka panjang, Nusantara dalam pandangan Dennis Lombard masih mampu mempertahankan “keasliannya” yang mendalam. Selain kesatuan rumpun kebahasaan, pertautan antarsuku bangsa menjadikan laut sebagai faktor penghubung, bukan pemisah.
            Demamnya masyarakat Nusantara yang diakibatkan ketergantungan antara kekuatan feodalisme diperparah oleh persaingan antara kerajaan – kerajaan Islam yang baru tumbuh, seperti antara Aceh vs Demak – Melayu, dan Aceh vs Banten. Watak imperialisme Belanda di Nusantara mencerminkan watak kapitalisme bangsa tersebut, karena imperialisme merupakan turunan dari kapitalisme, sedang kapitalisme memiliki corak sifat sendiri – sendiri.
            Sebagian besar wilayah kepulauan Indonesia saat ini adalah wilayah – wilayah yang ditaklukkan Belanda abad – 19. Wilayah – wilayah tersebut tidak langsung dipersatukan ke dalam suatu kesatuan administrasi kolonial. Ketika wilayah – wilayah tersebut belum dipertautkan ke dalam kesatuan administrasi kolonial, dan ketika gerakan perlawanan belum menemukan konteks komunikasi bagi pengartikulasian dan penyebaran gagasan, magnitudo gerakan perlawanan pun terbatas pada loyalitas – loyalitas tertentu. Gerakan – gerakan etno – religiuslah yang memberi dasar bagi munculnya kesadaran “nasionalisme purba”.
            Kelahiran SI (SDI) merupakan titik yang menentukan dalam perkembangan ide kebangsaan Islam sebagai bentuk proto – nasionalisme. SDI ini sendiri bertujuan untuk memajukan pedagang pribumi, khususnya  pedagang batik di Jawa Tengah. Dengan kemampuannya untuk menyentuh pluralitas kondisi manusia, kehadiran SI mempresentasikan suatu aspirasi sosio – politik yang Multi – lingual. SI dengan segera menjadi perhimpunan pribumi pertama yang memiliki cakupan seluas Hindia, yang beroperasi dengan ideologi nasionalis yang umum namun dengan warna agama.
            Perdebatan mengenai batas wilayah negara terjadi antara yang mendukung perluasan Wilayah Negara Indonesia dari wilayah Hindia – Belanda dahulu dengan yang ingin menguranginya. Berdasar argumen historis dan geopolitik, Yamin menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan daerah tumpah darah Indonesia itu ialah daerah Kepulauan Delapan dengan pulau – pulau kecil sekelilingnya (Sumatera,  Melayu, Borneo, Jawa, Sulawesi, Sunda, Maluku, Papua). Pada 13 Desember 1957, Pemerintah RI melalui deklarasi PM Ir. Djuanda mengklaim seluruh perairan antarpulau Indonesia sebagai wilayah nasional. Kemudian pada 1982, lagirlah Konvensi kedua PBB tentang Hukum Laut yang mengakui konsep ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif). Maka, Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Bahari dan kepulauan terbesar di dunia.
            Berikutnya persoalan warga negara. Pada prinsipnya, semua penduduk Indonesia dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia. Namun ada perbedaan nuansa pandangan mengenai kewarganegaraan keturunan asing, khususnya Arab, Tionghoa, dan Eropa. Dalam kenyataannya, persoalan integrasi orang – orang keturunan asing ke dalam kewarganegaraan Indonesia ini tidak berjalan mulus. UU yang dinanti untuk menuntaskan persoalan ini baru muncul menyusul gerakan reformasi pada 1998.
            Kebudayaan nasional Indonesia merefleksikan persatuan kesatuan dalam keragaman, kita mencari titik – titik persamaan dengan tetap menjaga perbedaan. Pengertian kebudayaan seperti itu dilukiskan dalam slogan negara “Bhineka Tunggal Ika”. Dengan demikian kebangsaan Indonesia adalah ekspresi rasa syukur atas desain sunatullah yang berorientasi keadilan sosial.
Demokrasi Permusyawaratan
          Menurut Hatta, ada tiga sumber yang menghidupkan cita – cita demokrasi. Pertama, tradisi kolektivisme dari permusyawaratan desa. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antarmanusia sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, paham sosialis Barat, yang menarik perhatian para pemimpin pergerakan kebangsaan karena dasar – dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya (Hatta, 1992: 121)
            Dalam pandangan Soekarno, pengaruh Islam di Nusantara membawa transformasi masyarakat feodal menuju masyarakat yang lebih demokratis (Soekarno, 1965: 265). Nilai – nilai demokratis itu bersumber dari akar teologisnya. Kehadiran Islam di Nusantara membawa perubahan penting dalam pandangan dunia dan etos masyarakat. Pembumian nilai – nilai demokrasi Islam di Nusantara tidak hanya merefleksikan pengaruh Islam secara sepihak, melainkan juga dipengaruhi oleh budaya masyarakat Nusantara sendiri.
            Agar tidak terjebak dalam kekeliruan yang sama, Soekarno menekankan perlunya bangsa kita memiliki konsepsi nasionalisme dan demokrasinya sendiri, yang dinamakan “sosio – nasionalisme” dan “sosio – demokrasi”. Sosio – nasionalisme yang dimaksud adalah semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi perikemanusiaan ke dalam dan keluar, “yang tidak mencari gebyarnya atau kilaunya ke negeri keluar saja, tetapi harus mencari selamatnya semua manusia“. Sedangkan sosio – demokrasi adalah demokrasi yang memperjuangkan keadilan sosial, yang tidak hanya memedulikan hak – hak sipil dan politik, melainkan juga hak ekonomi.
            Dalam demokrasi politik, yang perlu dikedepankan adalah soal prinsip kedaulatan rakyat, yaitu bahwa kekuasaan untuk mengatur negeri berada di tangan rakyat. Rakyat berdaulat dalam arti memiliki kekuasaan untuk menentukan cara bagaimana ia harusnya diperintah. Keputusan rakyat yang menjadi peraturan pemerintah bagi semua orang adalah keputusan yang ditetapkan dengan cara musyawarah mufakat dalam satu perundingan yang teratur bentuk dan prosesnya, guna mencegah dominasi pihak tertentu dalam pengambilan keputusan, juga agar keputusan politik berorientasi pada keadilan sosial dan kepentingan umum.
            Semangat demokrasi musyawarah – mufakat selaras dengan arus utama pemikiran politik Indonesia yang mengidealisasikan konsepsi negara kekeluargaan, yang tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 alinea terakhir. Berdasarkan sistematik “kekeluargaan”, Soepomo menyimpulkan pokok – pokok terpenting sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia, yakni: Kedaulatan dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Rakyat yang bersidang sekali dalam 5 tahun, dan memiliki kekuasaan tertinggi, sehingga pembaharuan negara dapat dilakukan. Presiden merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat. Dalam pangreh negara dibantu oleh wakil presiden, menteri – menteri, yang bertanggung jawab kepadanya dan Dewan Pertimbangan Agung. Dalam membentuk UUD presiden harus mufakat dengan DPR. Yang terakhir Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), merupakan titik tumpu dari kekhasan sistem demokrasi dan sistem pemerintahan di Indonesia.
Demokrasi pada umumnya dipandang sebagai tujuan yang harus dicapai, ketimbang sekadar sebagai sarana. Semua tindakan yang mengarah pada ideal – ideal kehidupan kebangsaan dipandang sebagai ekspresi demokrasi (Feith, 1962: 42). Ada tiga ide pokok Pemerintahan Demokratis, yakni (1) Kekuasaan Pemerintah berasal dari rakyat yang diperintah, (2) Kekuasaan itu harus dibatasi, dan (3) Pemerintah harus berdaulat. Terdapat pendekatan demokrasi, yaitu: konstitusional, substantif, prosedural, dan berorientasi proses.
Pendekatan konstitusional menekankan bagaimana konstitusi dibentuk, diberlakukan, dan diamalkan oleh pemerintah sehubungan dengan aktivitas politik. Pendekatan ini mengingatkan akan pentingnya landasan konstitusionalisme bagi perwujudan demokrasi. Pendekatan substantif memberikan perhatian lebih bagaimana pemerintah memajukan kondisi kehidupan politik. Pendekatan prosedural membahas bagaimana pemerintahan digolongkan sebagai suatu demokrasi. Pendekatan berorientasi proses, yakni proses kerja suatu demokrasi sederet interaksi beraturan di antara warga negara dengan pemerintah.
Demokrasi Permusyawaratan Indonesia yang mengandung visi “demokrasi deliberatif” memiliki daya antisipatif terhadap perkembangan kontemporer yang berkaitan dengan krisis ekologis. Untuk itu diperlukan struktur politik yang bersahabat dengan lingkungan dengan penghayatan “nilai – nilai hijau” di antara analisir – analisir dalam struktur tersebut. Musyawarah memberikan kesempatan bagi nilai – nilai maupun pemikiran pro – lingkungan untuk mengemuka.
Demokrasi dalam alam pemikiran Indonesia bukan sekedar alat teknis, melainkan juga cerminan alam kejiwaan, kepribadian, dan cita – cita nasional. Artinya demokrasi kita adalah demokrasi yang disebutkan dalam sila ke – 4 itu ialah demokrasi Indonesia yang membawa corak kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Tidak perlu identik dengan bangsa – bangsa lain.
Perlu diperhatikan bahwa sila kerakyatan didahului sila persatuan dan diakhiri sila keadilan. Berarti demokrasi Indonesia mengandaikan adanya semangat persatuan terlebih dahulu, dan setelah demokrasi politik dijalankan, pemerintah yang memegang kekuasaan diharapkan dapat mewujudkan keadilan sosial.
Keadilan Sosial
          Sila Keadilan Sosial merupakan perwujudan yang paling konkret dari prinsip – prinsip Pancasila.  Prinsip keadilan adalah inti dari moral ketuhanan, landasan pokok perikemanusiaan, simpul persatuan, matra kedaulatan rakyat. Selain itu, otentisitas pengamalan sila – sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan sosial dalam perikehidupan kebangsaan
            Selain terkandung dalam sila kelima Pancasila, Pembukaan UUD 1945 juga mengandung masalah keadilan, kecuali alinea ketiga. Pada alinea pertama terkandung komitmen penegakan keadilan secara universal. Pada alinea kedua dinyatakan tentang impian di seberang jembatan emas kemerdekaan, dalam rangka mewujudkan “Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Pada alinea keempat dinyatakan tentang tujuan Nasional, yang antara lain untuk memajukan “kesejahteraan umum”. Menurut penjelasan tentang UUD Negara Republik Indonesia Pembukaan UUD 1945 mengandung empat pokok pikiran yang dua diantaranya terkait “keadilan sosial”. Pertama menyatakan “Negara begitu bunyinya yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Ini mengandung pengertian bahwa persatuan nasional sebagai wahana untuk melindungi segenap bangsa dan tanah air mensyaratkan perwujudan keadilan sosial. Pokok pikiran kedua menyatakan, “ Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan pokok pikiran ini, negara mengemban misi mewujudkan keadilan sosial sebagai basis legitimasinya.
            Atas dasar pengertian negara sebagai persatuan bangsa Indonesia yang bersifat integralistik, dimana negara akan berwujud dan bertindak sebagai penyelenggara keinsafan keadilan rakyat seluruhnya, maka kita akan dapat melaksanakan Negara Indonesia yang bersatu dan adil, seperti yang dimuat dalam Panca Dharma, pasal 2 berbunyi: “kita mendirikan Negara Indonesia, yang makmur, bersatu, berdaulat, adil”. Maka negara hanya bisa adil, jika negara menyelenggarakan rasa keadilan rakyat dan menuntun rakyat pada cita – cita yang luhur menurut aliran zaman.
            Perkembangan paling penting dari bangkitnya kesadaran proton – nasionalis berbasis keadilan dan kesejahteraan ekonomi adalah munculnya Sarekat Islam (SI). Tujuannya untuk memajukan kesejahteraan, pendidikan dan solidaritas ekonomi. Selama Perang Dunia I, SI menyerukan pemerintah untuk mengurangi lahan penanaman tebu dan memberi lahan penanaman padi untuk mengatasi bahaya kelaparan. Dalam perkembangan lebih lanjut, perhatian SI yang lebih mengarah pada isu – isu politik membuat program ekonominya terabaikan. Meski demikian, kesadaran akan keadilan ekonomi tidak surut.
            Dari berbagai pandangan para pendiri bangsa, terdapat titik temu bahwa perjuangan keadilan ekonomi dan cita – cita kesederajatan itu memerlukan pertautan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
            Soekarno mengalamatkan sumber kesengsaraan dan kemelaratan bangsa Indonesia di masa kolonial pada kapitalisme dan imperialisme. Yang menurutnya bahwa kapitalisme adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dan alat – alat produksi. Adapun imperialisme yaitu suatu nafsu untuk menguasai atau memengaruhi ekonomi bangsa atau negeri lain, yang mengendalikan ekonomi bangsa lain. Soekarno memandang perlu adanya kontekstualisasi Marxisme dalam realita sosial – historis keindonesiaan dalam rangka menghadirkan sosialisme yang berakar dan berjalan.
            Dengan aktualisasi negara kesejahteraan, diharapkan negara dapat mengelola kekayaan bersama untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat, mencegah penguasaan bersama oleh modal perseorangan yang melemahkan sendi ekonomi , mengembangkan semangat kooperasi, memperkuat badan koperasi, mengembangkan diri melalui akses pendidikan dan perluasan kesempatan kerja, serta jaminan sosial sebagai jaring pengaman sosial.
            Harapan positif bukanlah khayalan kosong, melainkan harapan yang berjejak pada visi yang diperjuangkan hingga menjadi kenyataan. Harapan tanpa visi bisa menjadi kesesatan. Kita perlu memperkuat visi politik bahwa krisis nasional berakar jauh pada penyakit spirit dan moralitas yang melanda jiwa bangsa. Usaha memperjuangkan keadilan dan kemakmuran dalam pandangan Bung Hatta, meniscayaan adanya semangat kerja sama, tolong – menolong dalam suasana rakyat dalam suasana kesederajatan.
           
Perwujudan kesejahteraan negara ditentukan oleh integritas dan mutu para penyelenggara negara serta rasa tanggung jawab dan kemanusiaan setiap warga. Dalam visi negara yang hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak sepantasnya pejabat negara membiarkan rakyat terus buntung. Maka dari itu, pokok pikiran keempat UUD 1945 mengandung isi yang mewajibkan Pemerintah dan para pejabat penyelenggara negara lain memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita – cita moral rakyat.



Penutup
Pancasila dari Idealitas ke Realitas
            Meskipun Undang – Undang Dasar kita sejak Proklamasi telah mengalami beberapa perubahan, namun selalu menegaskan, bahwa kemerdekaan kita harus disusun berdasar Pancasila, yang mengandung lima sila yang saling kait – mengait. Kelima sila tersebut memiliki landasan yang dipakai untuk mengamalkan nilai – nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keterbukaan pengisian dan penafsiran setiap sila Pancasila itu dibatasi oleh prinsip – prinsip pokok untuk menjaga koherensinya dengan sila – sila lain. Pengamalan nilai – nilai Pancasila dapat terlaksana jika ada ketaatan dari warga negara, yaitu semangat para penyelenggara negara.
            Dalam buku Negara Paripurna, Yudi Latif menceritakan proses pembentukan kesepakatan tumpang tindih itu, yang berwujud lima sila dalam UUD 1945 dan rinciannya dalam Batang Tubuh UUD 1945. Yang paling dimungkinkan dari ini adalah ideologi yang didasarkan pada multi – kulturalis masyarakat dan kebudayaan. Soekarno menyebut inti dari Pancasila ialah Gotong Royong dan Prof. Soepomo, arsitek UUD 1945 menyebut UUD 1945 sebagai UUD Gotong Royong yang mencerminkan paham multikulturalisme, yaitu masyarakat plural yang mengandung mayoritas dan berbagai minoritas itu. Itulah mengapa Pancasila dan UUD 1945 berhasil mencapai konsensus
            Dalam perumusan Pancasila, masalah yang paling krusial adalah rumusan dasar negara yang tidak memisahkan agama dengan negara yang menjadi perdebatan sejak masa pergerakan nasional. Masalah utama yang timbul adalah para pemimpin dan pemikir Islam tidak meletakkan Islam dalam konteks masyarakat modern yang majemuk. Mereka juga gagal memahami hukum agama, yang hanya bisa ditaati berdasarkan kepercayaan yang personal. Sementara hukum publik dan hukum negara bersifat impersonal, tanpa keharusan iman pada keagamaan. Pemikiran mengenai kesatuan agama dan negara versi golongan Islam, yang menggambarkan fungsi negara dalam menegakkan hukum syari’at, yaitu perlunya menggunakan kekerasan.

            Buku Yudi ini tidak hanya menceritakan proses pembentukan ideologi secara kontekstual, tetapi juga memberikan interpretasi terhadap Pancasila, sila per sila dari berbagai perspektif. Buku Yudi ini membahas studi tentang Pancasila yang memiliki kaitan dengan Islam politik dan aspirasi Islam di Indonesia.  

0 komentar:

Posting Komentar