Negara Paripurna
Pendahuluan
Sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia yang
membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan
kekayaan sumber daya yang berlimpah, Indonesia menjadi titik – temu penjelajahan
bahari yang membawa berbagai arus peradaban dunia. Nusantara pun sebagai pusat
persemaian dan penyerbukan silang budaya. Masuk dalam persoalan politik, Perhimpunan
Indonesia (PI) di Belanda merumuskan, tujuan kemerdekaan politik harus didasarkan
persatuan nasional, solidaritas, non – kooperasi, dan kemandirian (1924).
Adapun idealisasi “Jika kita, kaum Muslim benar – benar memahami dan secara
sungguh – sungguh melaksanakan ajaran – ajaran Islam, kita pastilah akan
menjadi para demokrat dan sosialis sejati” (Tjokroaminoto 1924). Para aktivis
luar negeri maupun Hindia, serta Soekarno juga menganut ideal yang sama.
Monumen dari usaha intelektual untuk mencari sintesis dari keragaman anasir
keindonesiaan itu adalah “Sumpah Pemuda”, dengan visinya yang mempertautkan
segala keragaman ke dalam kesatuan tanah air bangsa dan menjunjung bahasa
persatuan.
Dalam rancangan awal Jepang, kemerdekaan akan diberikan melalui dua tahap; pertama BPUPKI yang bertugas sebagai penyelidik kemerdekaan, kemudian disusul PPKI yang tugasnya menyusun rancangan dan penetapan UUD. Namun skenario ini berubah karena keberanian dan kreativitas para pemimpin yang menerobos batas formalitas. Terdapat lima prinsip meja statis menurut pandangan Bung Karno, yang menjadi titik persetujuan segenap persatuan elemen bangsa dan memiliki tuntunan dinamis ke arah gerakan rakyat, bangsa, dan negara, yaitu: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme atau Perikemanusiaan; Mufakat atau Demokrasi; Kesejahteraan Sosial; dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Kelima prinsip itu disebut Soekarno dengan Panca Sila dan sebagai urutan sequential. Masing – masing sila Pancasila merupakan satu kesatuan integral, yang saling mengandaikan dan saling mengunci. Kemudian prinsip “Ketuhanan” dipindah dari sila terakhir ke sila pertama, ditambah dengan “Dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk – pemeluknya” (Kemudian dikenal dengan istilah “tujuh kata”). Selain itu, prinsip “Internasionalisme atau peri – kemanusiaan” tetap diletakkan pada sila kedua, namun redaksinya mengalami penyempurnaan menjadi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Prinsip “Kebangsaan Indonesia” berubah posisinya dari sila pertama menjadi sila ketiga. Bunyinya menjadi “Persatuan Indonesia”. Prinsip “Mufakat atau Demokrasi” berubah posisinya dari sila ketiga menjadi sila keempat. Bunyinya menjadi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Prinsip “Kesejahteraan Sosial” berubah posisinya dari sila keempat menjadi sila kelima. Bunyinya menjadi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Menurut Mohammad Hatta,
dengan perubahan posisi prinsip Ketuhanan dari posisi pengunci ke posisi
pembuka, ideologi negara tidak berubah karenanya, melainkan negara memperkokoh
fundamennya, negara dan politik negara mendapat dasar moral yang kuat. Hasil
rumusan Piagam Jakarta mendapat respon dari Latuharhary. Dalam tanggapannya
pada 11 Juli, menyatakan keberatan atas pencantuman “tujuh kata” itu. Dengan
demikian, hasil rumusan Piagam Jakarta itu bertahan hingga akhir masa persiapan
sidang kedua (17 Juli 1945). Berlandaskan Piagam Jakarta, Panitia Kecil
terlebih dahulu merumuskan lima pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan
UUD. Pokok – pokok pikiran ini mewujudkan cita – cita hukum yang menguasai
hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis, maupun tidak tertulis.
Bagi anggota – anggota
dari golongan kebangsaan, pencantuman “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta yang mengandung
perlakuan khusus bagi umat Islam dirasa tidak cocok dalam suatu hukum dasar
yang menyangkut warga negara secara keseluruhan. Pada 18 Agustus 1945, PPKI
memilih Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia. Saat itu PPKI menyetujui naskah Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD
1945, kecuali “tujuh kata” di belakang sila Ketuhanan, yang kemudian dicoret
dan diganti dengan kata “Yang Maha Esa”. Sehingga menjadi “Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Hal ini, dalam batang tubuh UUD 1945 disetujui pula Pasal 6 ayat 1 dan
Pasal 29 ayat 1.
Meskipun pencoretan
“tujuh kata” menimbulkan kekecewaan di sebagian golongan Islam, karena dianggap
melanggar kompromi sebelumnya, secara de facto dan de yure pencoretan
itu mencerminkan realitas politik yang ada dan memiliki keabsahan. Dalam proses
konseptualisasi Pancasila itu, dikatakan 1 Juni merupakan hari kelahiran
Pancasila. Dan akhirnya mengalami perumusan final melalui proses pengesahan
konstitusional pada 18 Agustus. Sejak disahkan secara konstitusional, Pancasila
dapat dikatakan sebagai dasar negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan
ligatur (pemersatu) dalam peri kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan – kenegaraan, Pancasila memiliki
landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat. Setiap sila
memiliki justifikasi historisitas, rasionalitas, dan aktualitasnya. Yang jika
dipahami, dihayati, dipercaya, dan diamalkan secara konsisten dapat menopang
pencapaian – pencapaian agung peradaban bangsa. Pokok – pokok moralitas dan
haluan kebangsaan – kenegaraan menurut alam Pancasila dapat dilukiskan sebagai
berikut.
Pertama,
nilai – nilai ketuhanan sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat
vertikal –transendental) dianggap penting sebagai fundamental kehidupan
bernegara. Kedua, nilai – nilai kemanusiaan universal yang bersumber
dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat – sifat sosial manusia dianggap penting
sebagai fundamen etika – politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia.
Landasan etik ini adalah “adil” dan “beradab”. Ketiga, aktualisasi nilai
– nilai etis kemanusiaan itu terlebih dahulu mengakar kuat dalam lingkungan
pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia lebih
jauh. Keempat, nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan cita – cita kebangsaan
itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam
semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Kelima,
nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan cita – cita kebangsaan, serta demokrasi
permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan, artinya sejauh dapat mewujudkan
keadilan sosial. Suatu dasar falsafah yang berlandasan ontologis,
epistemologis, dan aksiologis yang kuat, jika dipahami secara mendalam,
diyakini secara teguh, dan diamalkan dengan konsisten, dapat mendekati
perwujudan “Negara Paripurna”.
Demi membuat Pancasila
tegar, efektif, dan menjadi petunjuk bagaimana negara ini ditata – kelola
dengan benar, perlu adanya proses “radikalisasi Pancasila”. Yaitu dengan: (1)
mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara, (2) mengembangkan Pancasila
sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu, (3) mengusahakan Pancasila
mempunyai konsistensi dengan produk – produk perundangan, koherensi antarsila,
dan korespondensi dengan realitas sosial, (4) Pancasila yang semula hanya
melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani
kepentingan horizontal, dan (5) menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan
negara. Proses radikalisasi dimaksudkan untuk membuat Pancasila menjadi lebih
operasional dalam kehidupan dan ketatanegaraan, dan sanggup memenuhi kebutuhan
praktis atau pragmatis dan bersifat fungsional.
Ketuhanan Yang Berkebudayaan
Secara
historis, hidup religius dengan kerelaan menerima keragaman telah lama diterima
sebagai kewajaran oleh penduduk Nusantara. Nusantara telah mengembangkan
kepercayaan yang disebut bercorak animisme dan dinamisme. Sistem penyembahan
dari kepercayaan berkembang seiring perkembangan cara hidup manusia. Dengan
kemunculan intelegensi sebagai elite baru pada awal abad – 20, yang disusul
pergeseran gerakan mileniarisme menuju gerakan ideologis, peran politik agama
tidak surut. Golongan Islam berpandangan bahwa “negara” tidak bisa dipisahkan
dari “agama”. Sedangkan golongan kebangsaan berpandangan bahwa negara hendaknya
“netral” terhadap agama. Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti bahwa
negara bersifat “a religius”. Negara nasional yang bersatu akan memelihara budi
pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang teguh cita – cita moral rakyat
yang luhur. Maka hendaknya Negara Indonesia memakai dasar moral yang luhur, yang
juga dianjurkan agama Islam.
Di satu ujung, ada
pandangan yang menghendaki Islam sebagai dasar negara. Namun di ujung lain, ada
banyak pandangan yang menolak gagasan Negara Islam. Dalam perbenturan antar dua
paham tersebut, sulit melihat hubungan negara dan agama di luar pola
“penyatuan” (fusion) dan “pemisahan” (separation). Kita tidak
mendirikan negara dengan dasar perpisahan “agama” dan “negara”, melainkan
mendirikan negara modern diatas dasar perpisahan antara urusan agama dengan
negara. Semua orang hendaknya per – Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada
“egoisme – agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia menjadi satu Negara yang
bertuhan. Setiap golongan terjadi friksi internalnya masing – masing,
menyangkut dasar negara terjadi konsolidasi internal yang menciptakan
pengkubuan. Bagi golongan kebangsaan, Piagam Jakarta yang memuat “tujuh kata”
hanyalah salah satu dokumen sejarah yang dihasilkan perjalanan sejarah rakyat
Indonesia menuju kemerdekaan, oleh karena itu tidak bisa dan tidak boleh
menjadi sumber hukum. Sebaliknya, bagi golongan Islam, hal itu bukan hanya
memengaruhi Pembukaan UUD, melainkan seluruh batang tubuh UUD, sehingga tetap
terus memiliki makna hukum dan bisa dipergunakan sebagai sumber hukum untuk
menerapkan aturan – aturan Islam bagi umat Islam. Secara semena – mena, kubu –
kubu yang muncul dinamakan “Pendukung Pancasila” vs “Pendukung Islam”.
Semua memiliki banyak
kesamaan pandangan dan mencapai persetujuan dalam hal – hal substantif. Selain
itu setiap kubu juga bisa menerima setiap sila Pancasila kecuali menyangkut
“tujuh kata” dibalik sila Ketuhanan yang kembali dipersoalkan oleh kubu Islam.
Nampaknya sebagian besar masalah ditimbulkan oleh kekaburan dalam melihat
hubungan agama, Pancasila, dan negara. Jika dengan sila ke – Tuhanan Yang Maha
Esa memang benar – benar tidak terkandung maksud paksaan – paksaan terhadap agama dan
keyakinan lain, dalam Sidang Pleno menyatakan bersedia menerima Pancasila tanpa
perubahan atau perbaikan. Berdasarkan hal ini, Negara Indonesia berdasar
Pancasila sila Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah negara yang terpisah dari
agama, tetapi juga bukan negara yang menyatu dengan agama. Tidak terpisah,
karena negara secara aktif dan dinamis
membimbing, menyokong, memelihara, dan mengembangkan agama. Tidak pula menyatu dengan
agama, karena negara tidak didikte atau mewakili agama tertentu, bahkan tidak
memberi keistimewaan pada salah satu agama. Secara lazim, “Indonesia bukan
‘negara sekuler’ dan juga bukan ‘negara agama’ “. Untuk mengatasi dampak buruk
keterlibatan agama dan negara diperlukan konteks relasi baru, yaitu
“diferensiasi”. Tersedianya kerangka diferensiasi inilah yang memberi peluang
bagi pengembangan “toleransi kembar” antara agama dan negara. Negara dan agama
bisa mengembangkan peran publiknya masing – masing. Tanpa saling memaksa,
karena menemukan konteks keterlibatannya yang tepat.
Ketuhanan dalam
kerangka Pancasila merupakan usaha pencarian titik temu dalam semangat gotong –
oyong untuk menyediakan landasan moral yang kuat bagi kehidupan politik
berdasarkan moralitas Ketuhanan. Sila Ketuhanan mengajak bangsa Indonesia untuk
mengembangkan etika sosial dalam kehidupan publik – publik dengan memupuk rasa
kemanusiaan dan persatuan, mengembangkan hikmah permusyawaratan dan keadilan
sosial.
Kemanusiaan Universal
Melalui
proses persilangan budaya dan perdagangan, terjadilah arus masuk nilai – nilai
budaya dan agama semasa ke Nusantara. Di bawah politik etis, educate
(pendidikan), irrigatie (irigasi), dan emigratie (transmigrasi)
menjadi prioritas dan program kesejahteraan. Dan pendidikan dianggap sebagai
hal yang paling esensial. Semua memiliki konsekuensi penguasaan modal kultural
baru dan meningkatkan ekspektasi kaum intelegensi yang mendorong gerakan kemadjoean.
Gerakan inilah yang membuka jalan bagi kebangkitan nasional.
Proses
negosiasi dan persilangan budaya antar peradaban itu mengarah pada penguatan
komitmen bersama pada pembebasan ketika dihadapkan pada situasi kesengsaraan
ekonomi dan penindasan politik yang makin mencekam pada pasca – Perang Dunia I.
Situasi penderitaan memunculkan semangat emansipasi yang digali dari berbagai
unsur peradaban dan pengalaman. Dengan kesadaran akan pertautan rasa
kemanusiaan antar – bangsa, sosok nasionalisme yang hendak dikembangkan bangsa
Indonesia adalah nasionalisme luas, yang berdimensi internasionalisme. Dalam
perkembangannya, peralihan kekuasaan penjajah lama ke penjajah baru bak
peribahasa “Lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau Yang dimaksud prinsip filosofis
“internasionalisme” atau “perikemanusiaan” bukanlah “kosmopolitanisme” yang
tidak mau adanya kebangsaan. Dalam pandangan, “nasionalisme” dan
“internasionalisme” saling mengandaikan, “internasionalisme tidak dapat hidup
jika tidak berakar dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup
subur jika tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme”.
Alinea
pertama Pembukaan UUD 1945 komitmen bangsa Indonesia pada kemanusiaan universal
dengan menekankan kemutlakan hak merdeka bagi segala bangsa dan warganya tanpa
terkecuali. Alinea kedua menekankan perjuangan nasional meraih kemerdekaan dan
hak menentukan nasib sendiri serta idealisme kemanusiaan di alam kemerdekaan.
Alinea ketiga mengembalikan derajat manusia pada fitrah kesetaraannya dalam
berkat penciptaan Tuhan, yang menghendaki suasana kehidupan kebangsaan yang
bebas, dengan itu Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya. Alinea keempat
mengandung dua hal. Pertama, membawa isu – isu kemanusiaan pada tujuan negara
dalam rangka pemenuhan kebahasaan dan hak kolektif maupun perorangan, dalam
kehidupan nasional maupun internasional. Kedua, menjangkarkan isu – isu
kemanusiaan pada dasar negara, khususnya dasar kedua, “Kemanusiaan Yang Adil
dan Beradab”. Dalam Pembukaan ini tampak jelas bahwa para pendiri bangsa
memiliki argumen yang kuat.
Kebanyakan
hak dasar yang terkandung dalam UUD 1945 ialah hak dasar warga negara.
Kandungan HAM yang bersifat universal, yang berlaku bagi nun – warga negara
hanya terkandung pada pasal 28 dan 29. Ini mengindikasikan bahwa pengakuan HAM
diletakkan dalam suasana kekeluargaan. Dalam kewajibannya memfasilitasi dan
memenuhi hak – hak dasar warga, negara juga diberi haknya sendiri, yaitu hak
mengelola hal – hal yang menyangkut persemakmuran bersama.
Dengan
UUD 1945 secara substantif tidak mengurangi komitmen bangsa Indonesia pada
persoalan kemanusiaan universal dan penghormatan hak – hak asasi manusia. Bukan
karena UUD telah mengandung tiga generasi HAM, tetapi juga tersedianya rujukan
sumber hukum tidak tertulis, berupa fakta historis terjadinya kemajuan yang
terus – menerus dalam pengakuan konstitusional terhadap HAM.
Dalam
rekam jejak perjalanan bangsa ini tampak jelas, bahwa sila Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab memiliki akar yang kuat dalam historisasi kebangsaan Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia menghadirkan suatu bangsa yang memiliki wawasan global
dengan kearifan lokal, memiliki komitmen pada ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan serta pada pemuliaan hak – hak asasi
manusia dalam suasana kekeluargaan kebangsaan Indonesia.
Sebagaimana
negara – negara yang baru merdeka lainnya, ketika dekolonisasi berakhir,
Indonesia memerlukan waktu untuk mengembangkan kultur politik demokratis.
Setelah sekian lama berada di bawah dominasi asing yang tidak dijalankan dengan
prinsip akuntabilitas yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat koloni,
Indonesia mengalami kesulitan untuk mengembangkan pemerintahan yang memadai dan
responsif.
Di
tengah tekanan globalisasi yang semakin luas cakupannya, dalam penetrasinya dan
instan kecepatannya, sifat masyarakat Indonesia yang cenderung lentur dalam
menerima pengaruh global bisa bersifat positif dan negatif. Akhirnya, ada
perkembangan yang paradoks. Di satu sisi, globalisasi mengurangi otoritas
negara – bangsa. Di sisi lain, negara yang mampu mengambil keuntungan dari
globalisasi justru negara yang kuat. Dengan demikian harus ada keseimbangan
antara komitmen internasionalisme dan nasionalisme, pemberdayaan International
governance dan pemberdayaan negara – bangsa.
Persatuan Dalam Kebhinekaan
Berada
di kawasan tropik dengan kekayaan sumber yang tersedia, iklim yang moderat, dan
tempat perlintasan manusia purba, Dataran Sunda sangat mungkin merupakan tempat
persemaian awal peradaban manusia. Manusia yang bergerak dari Dataran Sunda
menuju Dataran Sahul diperkirakan jenis Homo Sapiens. Manusia purba
itulah Yang kemudian menjadi nenek moyang penduduk Papua dan Kepulauan
Melanesia serta suku Aborigin di Australia, yang dikenal Austro – Melanesoid.
Sementara dalam pergerakan ke arah barat, manusia purba dari Dataran Sunda
menyebar ke daerah Sumatera, Semenanjung Melayu, lalu ke utara, yakni Muangthai
Selatan sampai Vietnam Utara.
Sejak
zaman batu hingga kebudayaan perunggu, masyarakat prasejarah Nusantara telah
mengembangkan corak kebudayaan yang terbanyak di wilayah Asia. Pengaruh
indianisasi merefleksikan ikhtiar masyarakat Nusantara untuk memperoleh model
politik guna menghadapi situasi baru. Arus masuk indianisasi ini oleh hubungan
perdagangan Nusantara dan India yang difasilitasi oleh jalur pelayaran melalui
Samudera India.
Dalam
arus masuk kekuatan bangsa – bangsa Eropa di Nusantara tidak terhindarkan
membawa pengaruh peradaban dan keagamaan bangsa – bangsa tersebut, khususnya
kekristenan (Katolik dan Protestan), di Tanah Air. Tampak jelas cetakan dasar
Nusantara sebagai produk penyerbukan silang budaya yang menghadirkan arsiran –
arsiran persamaan dalam perbedaan. Manusia Nusantara berinduk ganda, yakni ras
Astro – Melanesoid berkulit hitam dan ras Astro – Mongoloid berkulit putih.
Kemungkinan perkawinan silang kedua ras melahirkan manusia berkulit sawo matang
yang lazim disebut ras Melayu. Alam Nusantara juga beraneka ragam, dari dataran
pantai hingga pegunungan, yang merupakan rangkaian dari gugus kepulauan yang pernah
menjadi bagian integral benua Asia dan Australia.
Meski
menunjukkan keragaman dan perubahan, dampak kehadiran aneka budaya dan
peradaban besar dalam jangka panjang, Nusantara dalam pandangan Dennis Lombard
masih mampu mempertahankan “keasliannya” yang mendalam. Selain kesatuan rumpun
kebahasaan, pertautan antarsuku bangsa menjadikan laut sebagai faktor
penghubung, bukan pemisah.
Demamnya
masyarakat Nusantara yang diakibatkan ketergantungan antara kekuatan feodalisme
diperparah oleh persaingan antara kerajaan – kerajaan Islam yang baru tumbuh,
seperti antara Aceh vs Demak – Melayu, dan Aceh vs Banten. Watak imperialisme
Belanda di Nusantara mencerminkan watak kapitalisme bangsa tersebut, karena
imperialisme merupakan turunan dari kapitalisme, sedang kapitalisme memiliki
corak sifat sendiri – sendiri.
Sebagian
besar wilayah kepulauan Indonesia saat ini adalah wilayah – wilayah yang
ditaklukkan Belanda abad – 19. Wilayah – wilayah tersebut tidak langsung dipersatukan
ke dalam suatu kesatuan administrasi kolonial. Ketika wilayah – wilayah
tersebut belum dipertautkan ke dalam kesatuan administrasi kolonial, dan ketika
gerakan perlawanan belum menemukan konteks komunikasi bagi pengartikulasian dan
penyebaran gagasan, magnitudo gerakan perlawanan pun terbatas pada loyalitas –
loyalitas tertentu. Gerakan – gerakan etno – religiuslah yang memberi dasar
bagi munculnya kesadaran “nasionalisme purba”.
Kelahiran
SI (SDI) merupakan titik yang menentukan dalam perkembangan ide kebangsaan
Islam sebagai bentuk proto – nasionalisme. SDI ini sendiri bertujuan untuk
memajukan pedagang pribumi, khususnya
pedagang batik di Jawa Tengah. Dengan kemampuannya untuk menyentuh
pluralitas kondisi manusia, kehadiran SI mempresentasikan suatu aspirasi sosio
– politik yang Multi – lingual. SI dengan segera menjadi perhimpunan
pribumi pertama yang memiliki cakupan seluas Hindia, yang beroperasi dengan
ideologi nasionalis yang umum namun dengan warna agama.
Perdebatan
mengenai batas wilayah negara terjadi antara yang mendukung perluasan Wilayah
Negara Indonesia dari wilayah Hindia – Belanda dahulu dengan yang ingin
menguranginya. Berdasar argumen historis dan geopolitik, Yamin menyimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan daerah tumpah darah Indonesia itu ialah daerah
Kepulauan Delapan dengan pulau – pulau kecil sekelilingnya (Sumatera, Melayu, Borneo, Jawa, Sulawesi, Sunda,
Maluku, Papua). Pada 13 Desember 1957, Pemerintah RI melalui deklarasi PM Ir.
Djuanda mengklaim seluruh perairan antarpulau Indonesia sebagai wilayah
nasional. Kemudian pada 1982, lagirlah Konvensi kedua PBB tentang Hukum Laut
yang mengakui konsep ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif). Maka, Negara Kesatuan
Republik Indonesia menjadi Negara Bahari dan kepulauan terbesar di dunia.
Berikutnya
persoalan warga negara. Pada prinsipnya, semua penduduk Indonesia dengan
sendirinya menjadi warga negara Indonesia. Namun ada perbedaan nuansa pandangan
mengenai kewarganegaraan keturunan asing, khususnya Arab, Tionghoa, dan Eropa.
Dalam kenyataannya, persoalan integrasi orang – orang keturunan asing ke dalam
kewarganegaraan Indonesia ini tidak berjalan mulus. UU yang dinanti untuk
menuntaskan persoalan ini baru muncul menyusul gerakan reformasi pada 1998.
Kebudayaan
nasional Indonesia merefleksikan persatuan kesatuan dalam keragaman, kita
mencari titik – titik persamaan dengan tetap menjaga perbedaan. Pengertian
kebudayaan seperti itu dilukiskan dalam slogan negara “Bhineka Tunggal Ika”.
Dengan demikian kebangsaan Indonesia adalah ekspresi rasa syukur atas desain sunatullah
yang berorientasi keadilan sosial.
Demokrasi Permusyawaratan
Menurut
Hatta, ada tiga sumber yang menghidupkan cita – cita demokrasi. Pertama,
tradisi kolektivisme dari permusyawaratan desa. Kedua, ajaran Islam yang
menuntut kebenaran dan keadilan ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan
antarmanusia sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, paham sosialis Barat, yang menarik
perhatian para pemimpin pergerakan kebangsaan karena dasar – dasar
perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya (Hatta, 1992: 121)
Dalam
pandangan Soekarno, pengaruh Islam di Nusantara membawa transformasi masyarakat
feodal menuju masyarakat yang lebih demokratis (Soekarno, 1965: 265). Nilai –
nilai demokratis itu bersumber dari akar teologisnya. Kehadiran Islam di
Nusantara membawa perubahan penting dalam pandangan dunia dan etos masyarakat.
Pembumian nilai – nilai demokrasi Islam di Nusantara tidak hanya merefleksikan
pengaruh Islam secara sepihak, melainkan juga dipengaruhi oleh budaya
masyarakat Nusantara sendiri.
Agar
tidak terjebak dalam kekeliruan yang sama, Soekarno menekankan perlunya bangsa
kita memiliki konsepsi nasionalisme dan demokrasinya sendiri, yang dinamakan
“sosio – nasionalisme” dan “sosio – demokrasi”. Sosio – nasionalisme yang
dimaksud adalah semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi perikemanusiaan ke
dalam dan keluar, “yang tidak mencari gebyarnya atau kilaunya ke negeri keluar
saja, tetapi harus mencari selamatnya semua manusia“. Sedangkan sosio – demokrasi
adalah demokrasi yang memperjuangkan keadilan sosial, yang tidak hanya
memedulikan hak – hak sipil dan politik, melainkan juga hak ekonomi.
Dalam
demokrasi politik, yang perlu dikedepankan adalah soal prinsip kedaulatan
rakyat, yaitu bahwa kekuasaan untuk mengatur negeri berada di tangan rakyat. Rakyat
berdaulat dalam arti memiliki kekuasaan untuk menentukan cara bagaimana ia
harusnya diperintah. Keputusan rakyat yang menjadi peraturan pemerintah bagi
semua orang adalah keputusan yang ditetapkan dengan cara musyawarah mufakat
dalam satu perundingan yang teratur bentuk dan prosesnya, guna mencegah
dominasi pihak tertentu dalam pengambilan keputusan, juga agar keputusan
politik berorientasi pada keadilan sosial dan kepentingan umum.
Semangat
demokrasi musyawarah – mufakat selaras dengan arus utama pemikiran politik
Indonesia yang mengidealisasikan konsepsi negara kekeluargaan, yang tercermin
dalam Pembukaan UUD 1945 alinea terakhir. Berdasarkan sistematik
“kekeluargaan”, Soepomo menyimpulkan pokok – pokok terpenting sistem
pemerintahan Negara Republik Indonesia, yakni: Kedaulatan dilakukan oleh Badan
Permusyawaratan Rakyat yang bersidang sekali dalam 5 tahun, dan memiliki
kekuasaan tertinggi, sehingga pembaharuan negara dapat dilakukan. Presiden
merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat. Dalam pangreh negara dibantu oleh wakil
presiden, menteri – menteri, yang bertanggung jawab kepadanya dan Dewan
Pertimbangan Agung. Dalam membentuk UUD presiden harus mufakat dengan DPR. Yang
terakhir Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), merupakan titik tumpu dari
kekhasan sistem demokrasi dan sistem pemerintahan di Indonesia.
Demokrasi pada umumnya
dipandang sebagai tujuan yang harus dicapai, ketimbang sekadar sebagai sarana.
Semua tindakan yang mengarah pada ideal – ideal kehidupan kebangsaan dipandang
sebagai ekspresi demokrasi (Feith, 1962: 42). Ada tiga ide pokok Pemerintahan
Demokratis, yakni (1) Kekuasaan Pemerintah berasal dari rakyat yang diperintah,
(2) Kekuasaan itu harus dibatasi, dan (3) Pemerintah harus berdaulat. Terdapat
pendekatan demokrasi, yaitu: konstitusional, substantif, prosedural, dan
berorientasi proses.
Pendekatan
konstitusional menekankan bagaimana konstitusi dibentuk, diberlakukan, dan
diamalkan oleh pemerintah sehubungan dengan aktivitas politik. Pendekatan ini
mengingatkan akan pentingnya landasan konstitusionalisme bagi perwujudan
demokrasi. Pendekatan substantif memberikan perhatian lebih bagaimana
pemerintah memajukan kondisi kehidupan politik. Pendekatan prosedural membahas
bagaimana pemerintahan digolongkan sebagai suatu demokrasi. Pendekatan
berorientasi proses, yakni proses kerja suatu demokrasi sederet interaksi
beraturan di antara warga negara dengan pemerintah.
Demokrasi
Permusyawaratan Indonesia yang mengandung visi “demokrasi deliberatif” memiliki
daya antisipatif terhadap perkembangan kontemporer yang berkaitan dengan krisis
ekologis. Untuk itu diperlukan struktur politik yang bersahabat dengan
lingkungan dengan penghayatan “nilai – nilai hijau” di antara analisir –
analisir dalam struktur tersebut. Musyawarah memberikan kesempatan bagi nilai –
nilai maupun pemikiran pro – lingkungan untuk mengemuka.
Demokrasi dalam alam
pemikiran Indonesia bukan sekedar alat teknis, melainkan juga cerminan alam
kejiwaan, kepribadian, dan cita – cita nasional. Artinya demokrasi kita adalah
demokrasi yang disebutkan dalam sila ke – 4 itu ialah demokrasi Indonesia yang
membawa corak kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Tidak perlu identik dengan
bangsa – bangsa lain.
Perlu diperhatikan
bahwa sila kerakyatan didahului sila persatuan dan diakhiri sila keadilan.
Berarti demokrasi Indonesia mengandaikan adanya semangat persatuan terlebih
dahulu, dan setelah demokrasi politik dijalankan, pemerintah yang memegang
kekuasaan diharapkan dapat mewujudkan keadilan sosial.
Keadilan Sosial
Sila
Keadilan Sosial merupakan perwujudan yang paling konkret dari prinsip – prinsip
Pancasila. Prinsip keadilan adalah inti
dari moral ketuhanan, landasan pokok perikemanusiaan, simpul persatuan, matra
kedaulatan rakyat. Selain itu, otentisitas pengamalan sila – sila Pancasila
bisa ditakar dari perwujudan keadilan sosial dalam perikehidupan kebangsaan
Selain
terkandung dalam sila kelima Pancasila, Pembukaan UUD 1945 juga mengandung
masalah keadilan, kecuali alinea ketiga. Pada alinea pertama terkandung
komitmen penegakan keadilan secara universal. Pada alinea kedua dinyatakan
tentang impian di seberang jembatan emas kemerdekaan, dalam rangka mewujudkan
“Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Pada
alinea keempat dinyatakan tentang tujuan Nasional, yang antara lain untuk
memajukan “kesejahteraan umum”. Menurut penjelasan tentang UUD Negara Republik
Indonesia Pembukaan UUD 1945 mengandung empat pokok pikiran yang dua diantaranya
terkait “keadilan sosial”. Pertama menyatakan “Negara begitu bunyinya yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan
berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”. Ini mengandung pengertian bahwa persatuan nasional sebagai
wahana untuk melindungi segenap bangsa dan tanah air mensyaratkan perwujudan
keadilan sosial. Pokok pikiran kedua menyatakan, “ Negara hendak mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan pokok pikiran ini,
negara mengemban misi mewujudkan keadilan sosial sebagai basis legitimasinya.
Atas
dasar pengertian negara sebagai persatuan bangsa Indonesia yang bersifat
integralistik, dimana negara akan berwujud dan bertindak sebagai penyelenggara
keinsafan keadilan rakyat seluruhnya, maka kita akan dapat melaksanakan Negara
Indonesia yang bersatu dan adil, seperti yang dimuat dalam Panca Dharma, pasal
2 berbunyi: “kita mendirikan Negara Indonesia, yang makmur, bersatu, berdaulat,
adil”. Maka negara hanya bisa adil, jika negara menyelenggarakan rasa keadilan
rakyat dan menuntun rakyat pada cita – cita yang luhur menurut aliran zaman.
Perkembangan
paling penting dari bangkitnya kesadaran proton – nasionalis berbasis keadilan
dan kesejahteraan ekonomi adalah munculnya Sarekat Islam (SI). Tujuannya untuk
memajukan kesejahteraan, pendidikan dan solidaritas ekonomi. Selama Perang
Dunia I, SI menyerukan pemerintah untuk mengurangi lahan penanaman tebu dan
memberi lahan penanaman padi untuk mengatasi bahaya kelaparan. Dalam
perkembangan lebih lanjut, perhatian SI yang lebih mengarah pada isu – isu
politik membuat program ekonominya terabaikan. Meski demikian, kesadaran akan
keadilan ekonomi tidak surut.
Dari
berbagai pandangan para pendiri bangsa, terdapat titik temu bahwa perjuangan
keadilan ekonomi dan cita – cita kesederajatan itu memerlukan pertautan antara
demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Soekarno
mengalamatkan sumber kesengsaraan dan kemelaratan bangsa Indonesia di masa
kolonial pada kapitalisme dan imperialisme. Yang menurutnya bahwa kapitalisme
adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan
kaum buruh dan alat – alat produksi. Adapun imperialisme yaitu suatu nafsu
untuk menguasai atau memengaruhi ekonomi bangsa atau negeri lain, yang
mengendalikan ekonomi bangsa lain. Soekarno memandang perlu adanya
kontekstualisasi Marxisme dalam realita sosial – historis keindonesiaan dalam
rangka menghadirkan sosialisme yang berakar dan berjalan.
Dengan
aktualisasi negara kesejahteraan, diharapkan negara dapat mengelola kekayaan
bersama untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat, mencegah penguasaan bersama
oleh modal perseorangan yang melemahkan sendi ekonomi , mengembangkan semangat
kooperasi, memperkuat badan koperasi, mengembangkan diri melalui akses
pendidikan dan perluasan kesempatan kerja, serta jaminan sosial sebagai jaring
pengaman sosial.
Harapan
positif bukanlah khayalan kosong, melainkan harapan yang berjejak pada visi
yang diperjuangkan hingga menjadi kenyataan. Harapan tanpa visi bisa menjadi
kesesatan. Kita perlu memperkuat visi politik bahwa krisis nasional berakar
jauh pada penyakit spirit dan moralitas yang melanda jiwa bangsa. Usaha
memperjuangkan keadilan dan kemakmuran dalam pandangan Bung Hatta, meniscayaan
adanya semangat kerja sama, tolong – menolong dalam suasana rakyat dalam
suasana kesederajatan.
Perwujudan
kesejahteraan negara ditentukan oleh integritas dan mutu para penyelenggara
negara serta rasa tanggung jawab dan kemanusiaan setiap warga. Dalam visi
negara yang hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
tidak sepantasnya pejabat negara membiarkan rakyat terus buntung. Maka dari
itu, pokok pikiran keempat UUD 1945 mengandung isi yang mewajibkan Pemerintah
dan para pejabat penyelenggara negara lain memelihara budi pekerti kemanusiaan
yang luhur dan memegang teguh cita – cita moral rakyat.
Penutup
Pancasila dari Idealitas ke Realitas
Meskipun
Undang – Undang Dasar kita sejak Proklamasi telah mengalami beberapa perubahan,
namun selalu menegaskan, bahwa kemerdekaan kita harus disusun berdasar
Pancasila, yang mengandung lima sila yang saling kait – mengait. Kelima sila
tersebut memiliki landasan yang dipakai untuk mengamalkan nilai – nilai
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keterbukaan pengisian dan
penafsiran setiap sila Pancasila itu dibatasi oleh prinsip – prinsip pokok
untuk menjaga koherensinya dengan sila – sila lain. Pengamalan nilai – nilai
Pancasila dapat terlaksana jika ada ketaatan dari warga negara, yaitu semangat
para penyelenggara negara.
Dalam
buku Negara Paripurna, Yudi Latif menceritakan proses pembentukan
kesepakatan tumpang tindih itu, yang berwujud lima sila dalam UUD 1945 dan
rinciannya dalam Batang Tubuh UUD 1945. Yang paling dimungkinkan dari ini
adalah ideologi yang didasarkan pada multi – kulturalis masyarakat dan
kebudayaan. Soekarno menyebut inti dari Pancasila ialah Gotong Royong dan Prof.
Soepomo, arsitek UUD 1945 menyebut UUD 1945 sebagai UUD Gotong Royong yang
mencerminkan paham multikulturalisme, yaitu masyarakat plural yang mengandung
mayoritas dan berbagai minoritas itu. Itulah mengapa Pancasila dan UUD 1945
berhasil mencapai konsensus
Dalam
perumusan Pancasila, masalah yang paling krusial adalah rumusan dasar negara
yang tidak memisahkan agama dengan negara yang menjadi perdebatan sejak masa
pergerakan nasional. Masalah utama yang timbul adalah para pemimpin dan pemikir
Islam tidak meletakkan Islam dalam konteks masyarakat modern yang majemuk.
Mereka juga gagal memahami hukum agama, yang hanya bisa ditaati berdasarkan
kepercayaan yang personal. Sementara hukum publik dan hukum negara bersifat
impersonal, tanpa keharusan iman pada keagamaan. Pemikiran mengenai kesatuan
agama dan negara versi golongan Islam, yang menggambarkan fungsi negara dalam
menegakkan hukum syari’at, yaitu perlunya menggunakan kekerasan.
Buku
Yudi ini tidak hanya menceritakan proses pembentukan ideologi secara
kontekstual, tetapi juga memberikan interpretasi terhadap Pancasila, sila per
sila dari berbagai perspektif. Buku Yudi ini membahas studi tentang Pancasila
yang memiliki kaitan dengan Islam politik dan aspirasi Islam di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar